Baca Juga :
Kala itu pemuda bernama Sokran berada di tengah-tengah sawah dekat dengan laut, dia mencoba bersila, meluruskan tutur dalam bingkai rahim yang penuh dengan welas asih demi tercapainya kerapian jiwa.
Detik perdetik terbius oleh kepaduan ruang dan waktu yang tak bisa dipisahkan lagi, jiwanya bertemu dengan jelmaan Raden syahid yang sedang mengaktualkan jurus manunggaling kawula gustinya. Dia melihat Raden yang penuh dengan kelembutan, sampai-sampai tak mau menyakiti perasaan sebiji tumbuhan, seekor hewan serta setulang benulang yang terbungkus karung goni atau biasa kita sebut manusia.
Mau marah tak berani karena takut menyakiti diri, apalagi memukul yang jelas-jelas menyakiti diri. Kedip perkedip Sokran tetap mengintip Sang Raden dengan penuh pengkhayatan, jari jemarinya mulai bergerak untuk mengingat-ingat tingkah tindak dari Sang Raden. Pengolahan kata untuk disabdakan butuh waktu yang cukup lama untuk terangkai dengan indah demi tercapainya sebuah untaian sabda yang menggetarkan jiwa semua makhluk yang ada di sekitarnya.
Jengkal sejengkal Raden mulai bergerak menuju Sokran. "Jika untaian kata yang telanjang tak mampu menggetarkan jiwa, maka biarkan tembang-tembang dalam alunan musik yang akan menyentuh jiwanya" Sabda Raden Syahid kepada Sokran. Genggaman tangan Sokran mengalun menuju tubuh Sang Raden, akan tetapi Raden tidak bisa disentuh olehnya.
Iringan malam yang dingin, sentilan api unggun yang menyejukkan serta sentuhan lembut dari air hujan telah memperkosa jiwa Sokran. Beliau penuh dengan kemutmainnahan saat memperkosa jiwanya sambil berbisik "heh kau Sokran, jika kau sudah terlanjur mengintip jurus manunggaling kawula gustiku, sanggupkah kau mengamalkan jurus itu? Jika tidak, maka ambillah celurit yang penuh bara itu, kemudian hunuskan padaku".
Tubuh Sokran gemetaran mendengar bisikan Raden, dirinya senantiasa melepaskan diri dari pelukan Raden yang mistis sambil berujar "ah tidak, mana mungkin aku harus menghunusmu duhai Raden".
Senyuman manja dari Raden mendengar jawabannya yang menggelikan, sambil berkata "pejamkan matamu sambil menghaturkan basmalah kepada Sang Hyang Tunggal kemudian berhitunglah satu sampai tiga, setelah itu buka matamu!".
Ehmm...kusebut namamu duhai Sang Hyang pengasih dan penyayang...satuuu, duaaa, tigaaa, setelah menengadahkan bola matanya, semakin deras keringat mengguyur tubuh Sokran lantaran matanya tak mampu lagi melihat jasadnya, telinganya tak mampu mendengarkan ucapan Raden, tapi nalarnya masih terngiang-ngiang segala ucapan dan tingkah tindak Raden Syahid.
Sokran yang bingung kepalang, bergegas lari menuju air suci sambil menggosokkan telapak tangannya ke muka lusungnya. Dengan hembusan nafas yang panjang Sokran merasa lega karena nalarnya tak lagi mengiang-ngiangkan sesosok Raden Syahid yang memperkosanya seusai mengaktualkan jurus manunggaling kawula gustinya.
***
Khalayak tidak perlu bertanya-tanya siapakah Raden Syahid? Siapakah Sokran itu? Dan jurus apa manunggaling kawula gusti itu? Pangkasan cerita pendek (prosa) itu pantas untuk dijadikan media penyelentik hati para pengabdi yang berbingkai organisasi.
Sebaran sabda yang berserakan disela-sela rumput, kebijakan (katanya) suci menjulang tinggi ke cakrawala biru serta tingkah tindak yang secepat kilat harus tercermin untuk mengalunkan tangannya ke masing-masing wajah sendiri.
Rumput yang dipotong akan terasa menyakiti diri kita sendiri, hunusan sabda yang menyakiti perasaan orang lain, telah merobek hatinya sendiri. Sederhana, jika pemimpin mau memberikan ucapan, tindakan bahkan kebijakan kepada objek ucapan, tindakan maupun kebijakan harus dipikirkan matang-matang agar tidak menghunus dirinya sendiri. Jadi, pemimpin perlu menyatu dengan Tuhannya, bukan malah menjadi Tuhan untuk menggantikan Tuhan yang lain.
Segala tingkah tindaknya akan berdampak pada dirinya sendiri. Jadi, kalau mau memberikan sesuatu, maka harus dirasakan terlebih dahulu kira-kira apa yang akan mereka rasakan dari tingkah tindaknya. Jika membahagiakan, maka lanjutkan. tapi, jika memungkinkan menyakiti hatinya, maka jangan, karena engkau yang akan merasakan sakit yang lebih perih dari kebijakanmu sendiri.
Manunggaling kawula gusti, memang berat jika di nalar, tapi akan terasa nikmat jika diamalkan, bak muslim yang mau thowaf, akan merasakan berat di nalar, tapi jika sudah diamalkan thowafnya maka terasa nikmat sekali.
Masihkah khalayak tega mendengar hingar bingar politik yang mencengkeram kelembutan hati rakyat jelata. masihkah tega khalayak membiarkan kaki yang harusnya bersepatu, tapi malah bersemen. masihkan tega khalayak menyaksikan perampasan hak tidur pulas rakyat jelata lantaran tengah malam harus mencari nafkah demi setetes air keluarga.
Engkau lantangkan pekikkan hidup Mahasiswa demi mengawal rakyat, tapi rakyat tak pernah kau singgahi. Kau kuras habis jatah uang negara untuk peranmu yang katanya akan mengabdi kepada masyarakat, tapi nyatanya engkau tak pernah menyisahkannya untuk sebatas memberikan sebungkus roti di acara penyuluhan masyarakat.
Maka khalayak perlu menarik nafas panjang dan pejamkan mata sejenak untuk mengantarkan diri bertemu dengan jiwanya sendiri yang seharusnya menyatu dengan Tuhannya. Jika khalayak masih kepalang dengan tulisan ini, maka kucoba sampaikan dengan lugas "jadikan objek kehidupan khalayak adalah Tuhan, sehingga jika Tuhan disakiti maka khalayak sendirilah yang akan tersakiti.
Contohnya mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga sembako, nah, jika kebijakan itu menyakiti rakyat (baca: Tuhan) maka khalayak sedang menyakiti Tuhan, maka dari itu, bergegaslah taubat karena Tuhan sudah anda murkakan.
Oleh: Miftahul Achyar, Mahasiswa Psikologi UTM
17 April 2017
Desa Langgundi, Bangkalan
Tulisan ini tidak untuk menghunus nalar khalayak, tapi semata-mata hanya menyelentik nalar penulis agar tercakrawalakan. Mohon maaf bila terdapat kisah yang sama, semuanya hanyalah fiktif belaka. Wallahu a'lam bish showab.
Detik perdetik terbius oleh kepaduan ruang dan waktu yang tak bisa dipisahkan lagi, jiwanya bertemu dengan jelmaan Raden syahid yang sedang mengaktualkan jurus manunggaling kawula gustinya. Dia melihat Raden yang penuh dengan kelembutan, sampai-sampai tak mau menyakiti perasaan sebiji tumbuhan, seekor hewan serta setulang benulang yang terbungkus karung goni atau biasa kita sebut manusia.
Mau marah tak berani karena takut menyakiti diri, apalagi memukul yang jelas-jelas menyakiti diri. Kedip perkedip Sokran tetap mengintip Sang Raden dengan penuh pengkhayatan, jari jemarinya mulai bergerak untuk mengingat-ingat tingkah tindak dari Sang Raden. Pengolahan kata untuk disabdakan butuh waktu yang cukup lama untuk terangkai dengan indah demi tercapainya sebuah untaian sabda yang menggetarkan jiwa semua makhluk yang ada di sekitarnya.
Jengkal sejengkal Raden mulai bergerak menuju Sokran. "Jika untaian kata yang telanjang tak mampu menggetarkan jiwa, maka biarkan tembang-tembang dalam alunan musik yang akan menyentuh jiwanya" Sabda Raden Syahid kepada Sokran. Genggaman tangan Sokran mengalun menuju tubuh Sang Raden, akan tetapi Raden tidak bisa disentuh olehnya.
Iringan malam yang dingin, sentilan api unggun yang menyejukkan serta sentuhan lembut dari air hujan telah memperkosa jiwa Sokran. Beliau penuh dengan kemutmainnahan saat memperkosa jiwanya sambil berbisik "heh kau Sokran, jika kau sudah terlanjur mengintip jurus manunggaling kawula gustiku, sanggupkah kau mengamalkan jurus itu? Jika tidak, maka ambillah celurit yang penuh bara itu, kemudian hunuskan padaku".
Tubuh Sokran gemetaran mendengar bisikan Raden, dirinya senantiasa melepaskan diri dari pelukan Raden yang mistis sambil berujar "ah tidak, mana mungkin aku harus menghunusmu duhai Raden".
Senyuman manja dari Raden mendengar jawabannya yang menggelikan, sambil berkata "pejamkan matamu sambil menghaturkan basmalah kepada Sang Hyang Tunggal kemudian berhitunglah satu sampai tiga, setelah itu buka matamu!".
Ehmm...kusebut namamu duhai Sang Hyang pengasih dan penyayang...satuuu, duaaa, tigaaa, setelah menengadahkan bola matanya, semakin deras keringat mengguyur tubuh Sokran lantaran matanya tak mampu lagi melihat jasadnya, telinganya tak mampu mendengarkan ucapan Raden, tapi nalarnya masih terngiang-ngiang segala ucapan dan tingkah tindak Raden Syahid.
Sokran yang bingung kepalang, bergegas lari menuju air suci sambil menggosokkan telapak tangannya ke muka lusungnya. Dengan hembusan nafas yang panjang Sokran merasa lega karena nalarnya tak lagi mengiang-ngiangkan sesosok Raden Syahid yang memperkosanya seusai mengaktualkan jurus manunggaling kawula gustinya.
***
Khalayak tidak perlu bertanya-tanya siapakah Raden Syahid? Siapakah Sokran itu? Dan jurus apa manunggaling kawula gusti itu? Pangkasan cerita pendek (prosa) itu pantas untuk dijadikan media penyelentik hati para pengabdi yang berbingkai organisasi.
Sebaran sabda yang berserakan disela-sela rumput, kebijakan (katanya) suci menjulang tinggi ke cakrawala biru serta tingkah tindak yang secepat kilat harus tercermin untuk mengalunkan tangannya ke masing-masing wajah sendiri.
Rumput yang dipotong akan terasa menyakiti diri kita sendiri, hunusan sabda yang menyakiti perasaan orang lain, telah merobek hatinya sendiri. Sederhana, jika pemimpin mau memberikan ucapan, tindakan bahkan kebijakan kepada objek ucapan, tindakan maupun kebijakan harus dipikirkan matang-matang agar tidak menghunus dirinya sendiri. Jadi, pemimpin perlu menyatu dengan Tuhannya, bukan malah menjadi Tuhan untuk menggantikan Tuhan yang lain.
Segala tingkah tindaknya akan berdampak pada dirinya sendiri. Jadi, kalau mau memberikan sesuatu, maka harus dirasakan terlebih dahulu kira-kira apa yang akan mereka rasakan dari tingkah tindaknya. Jika membahagiakan, maka lanjutkan. tapi, jika memungkinkan menyakiti hatinya, maka jangan, karena engkau yang akan merasakan sakit yang lebih perih dari kebijakanmu sendiri.
Manunggaling kawula gusti, memang berat jika di nalar, tapi akan terasa nikmat jika diamalkan, bak muslim yang mau thowaf, akan merasakan berat di nalar, tapi jika sudah diamalkan thowafnya maka terasa nikmat sekali.
Masihkah khalayak tega mendengar hingar bingar politik yang mencengkeram kelembutan hati rakyat jelata. masihkah tega khalayak membiarkan kaki yang harusnya bersepatu, tapi malah bersemen. masihkan tega khalayak menyaksikan perampasan hak tidur pulas rakyat jelata lantaran tengah malam harus mencari nafkah demi setetes air keluarga.
Engkau lantangkan pekikkan hidup Mahasiswa demi mengawal rakyat, tapi rakyat tak pernah kau singgahi. Kau kuras habis jatah uang negara untuk peranmu yang katanya akan mengabdi kepada masyarakat, tapi nyatanya engkau tak pernah menyisahkannya untuk sebatas memberikan sebungkus roti di acara penyuluhan masyarakat.
Maka khalayak perlu menarik nafas panjang dan pejamkan mata sejenak untuk mengantarkan diri bertemu dengan jiwanya sendiri yang seharusnya menyatu dengan Tuhannya. Jika khalayak masih kepalang dengan tulisan ini, maka kucoba sampaikan dengan lugas "jadikan objek kehidupan khalayak adalah Tuhan, sehingga jika Tuhan disakiti maka khalayak sendirilah yang akan tersakiti.
Contohnya mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga sembako, nah, jika kebijakan itu menyakiti rakyat (baca: Tuhan) maka khalayak sedang menyakiti Tuhan, maka dari itu, bergegaslah taubat karena Tuhan sudah anda murkakan.
Oleh: Miftahul Achyar, Mahasiswa Psikologi UTM
17 April 2017
Desa Langgundi, Bangkalan
Tulisan ini tidak untuk menghunus nalar khalayak, tapi semata-mata hanya menyelentik nalar penulis agar tercakrawalakan. Mohon maaf bila terdapat kisah yang sama, semuanya hanyalah fiktif belaka. Wallahu a'lam bish showab.
COMMENTS